Tuesday, October 18, 2005

Gegar

Anak kecil itu menangis lagi. Perutnya lapar. Ibu jari di hisap-hisap, sudah kecut-mecut jadinya. Ibu yang terbaring menyaksikan saja tanpa bisa berbuat apa-apa. Dalam kedinginan malam yang mengigit, suara anak kecil itu bagaikan sebuah lagu, tapi bukanlah lagu gembira, ianya lagu duka sebuah kehidupan.
Anak kecil itu merangkak-rangkak mendapatkan ibunya. Kesan air mata yang masih tersisa melekat di tepi matanya yang bulat. Anak itu comel sekali. Pipinya kemerah-merahan, alisnya tebal, dan bila dia tertawa hati yang sedih bisa di rawati. Dia duduk di sebelah ibunya, kemudian baring di celah ketiak seolah-olah tahu tangisannya tak bisa melenyapkan lapar yang berdenyut di perut yang kecil itu. Jari masih di hisap. Ibunya memeluk, sambil membacakan ayat-ayat Al-Quran, berzikir menyebut Subhanallah, sehinggalah anak itu lena. Perlahan air mata di wajah yang cengkung itu mengalir. Tangisan yang sayu dan tersekat-sekat.
Pagi sebelum itu, anak kecil sedang gembira bermain anak patung, walaupun sudah usang dan kusam, namun hanya itulah permainan yang ada. Ibunya sedang sibuk membasuh baju di belakang rumah. Keadaan di luar seperti hari-hari biasa, semua orang dengan hal masing-masing. Abang si kecil yang dari tadi hanya memerhati keasyikan tiba-tiba bangun, buku sekolah yang sedang di baca di biarkan di lantai simen yang kasar. Dia duduk di sebelah adiknya, bermain-main, adik terkekek ketawa gembira.
Pagi yang sunyi itu tiba-tiba dikejutkan dengan bunyi dentuman yang amat dahsyat, sejurus selepas itu di susuli goncangan maha hebat. Bangunan batu bergegar, pokok-pokok tercabut dari perut bumi, akar tertunjal keluar, suara-suara takut, jeritan-jeritan kuat menganti suasana.
Anak patung terlepas dari tangannya, gegaran yang kuat membuatkan anak kecil itu menangis kuat, abangnya terperosok di bawah meja, kepalanya di hempap kayu, dia tidak bergerak, ibunya yang berlari dari dapur tidak sempat mencapai anak kecil, dia tersungkur, separuh badannya di hempap almari buruk di tengah rumah itu.
Keadaan menjadi sepi. Tiada lagi gegaran, tiada lagi bunyi deruan kuat, yang ada hanyalah suara tangisan di setiap penjuru bumi itu. Apakah dosa sehingga di turunkan azab sebegitu rupa. Salah laku apa yang membuatkan kemurkaanNya, sesungguhnya janji Allah itu pasti. Ya Allah Ya Rabbil Alamin, ampunilah dosa-dosa kami, sesungguhnya kami telah menzalimi diri ini sendiri, dan amaran dari Mu ini menyedarkan akan kekhilafan kami.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home